Dewi Lestari - Tidak suka politik panggung
Siapa tak kenal Dewi “Dee” Lestari. Namanya sudah menghiasi dunia hiburan sejak tahun 1994, ketika ia bersama Rida Farida (Rida) dan Indah Sita Nursanti (Sita) membentuk kelompok vokal (trio) bernama RSD (Rida Sita Dewi). Kualitas suara ketiga perempuan ini tak diragukan lagi. Begitu juga dengan lagu-lagu yang dinyanyikan mereka. Sejumlah lagu andalan seperti “Antara Kita” dan “Kepadamu” pun keluar menjadi hits. Maka sejak RSD lahir, orang mengenal Dee sebagai penyanyi bersuara merdu.
Namun, di tahun 2001, nama Dee tiba-tiba terdengar lebih hangat dibanding kedua personil RSD lainnya ketika sebuah novel berjudul ‘Supernova Satu: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh’ beredar di pasar. Novel setebal 286 halaman, yang banyak menggunakan istilah sains ini adalah murni hasil kreativitas perempuan berusia 33 tahun ini. Seorang Dewi Lestari rupanya juga memiliki bakat menulis. Karyanya sungguh ‘berisi’. Tetap bertema cinta, namun jauh dari kesan picisan atau murahan. Dee terlihat begitu pandai merangkai kata, menguntai kalimat.
Kecerdasan penggemar Sarah McLahan ini pun mulai ‘diakui’ publik seiring meluasnya penyebaran novel ‘Supernova Satu’ yang kabarnya laku 12.000 eksemplar hanya dalam tempo satu bulan itu. Predikat Dee pun bertambah. Tidak hanya sebagai musisi, tapi juga sebagai penulis. Malah bukan sembarang penulis. Ia sering disebut dalam jajaran penulis perempuan kategori TOP seperti Djenar Maesa Ayu dan Fira Basuki. Tidak berlebihan memang. Terbukti, novel perdana yang berhasil mendongkrak nama Dee sebagai penulis itu mendapatkan penghargaan “Top 5 Khatulistiwa Literary Award”. Sebuah penghargaan yang cukup bergengsi di bidang sastra.
Kesuksesan tersebut membuat Dee makin semangat menuangkan imajinasi dan pemikirannya ke dalam cerita-cerita panjang maupun pendek. Karyanya selalu ditunggu penggemar setia. Lihat saja ke sejumlah blog pribadinya (antara lain http://www.dee-idea.blogspot.com, http://www.dee-55days.blogspot.com) hampir semua pengunjungnya mendukung dan menagih gebrakan-gebrakan Dee selanjutnya.
Tak heran jika hari-hari Dee kini lebih banyak diluangkan untuk kegiatan menulis. Ia pun berharap kelak karyanya bisa mendunia dan dinikmati secara internasional. Untuk mewujudkan hal itu, Dee berani untuk menciptakan lirik dan cerita berbahasa Inggris, atau bahkan menggaet ahli penerjemah karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris, Harry Aveling, seperti yang pernah ia lakukan dengan ‘Supernova Satu’. Hingga kini, sudah 5 novel yang berhasil dipublikasikannya. Termasuk Rectoverso, karya terakhir perempuan bershio Kelinci ini yang sedang hangat-hangatnya ‘dibedah’ di mana-mana.
Rectoverso ini mungkin bisa dibilang penuh sensasi. Ia merupakan karya gabungan antara buku dan musik. Dee malah menyebut proyek yang diakuinya paling ‘gila’ dan menantang ini sebagai makhluk hibrida yang diberi nama Rectoverso. Menurutnya, suatu ide atau inspirasi terkadang tidak cukup jika hanya diwujudkan dalam sebuah saluran, entah itu musik atau cerita saja.
Dee merasa jika ia bisa mewujudkan satu ide ke dalam dua karya seni yang berbeda, maka ide itu akan menjadi sempurna: bisa saling bercermin, sekaligus juga bisa dinikmati sebagai dua karya yang terpisah. Persis seperti makna rectoverso itu sendiri: istilah untuk dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan, atau saling melengkapi.
Maka lahirlah Rectoverso versi Dewi Lestari: kumpulan sebelas lagu dan sebelas cerpen yang saling bercermin. Mengapa 11:11?. “Saya menyukai angka ini. 11:11. Dikenal sebagai angka yang mewakili kehadiran alam spiritual yang bersandingan dengan alam material. Bagi saya, ini merupakan wujud dari Rectoverso,” kata Dee seperti yang diungkapkannya kepada berbagai media.
Itulah keunikan ibu dari Keenan Avalovita Kirana ini. Ide ceritanya tidak hanya terbatas pada cinta. Tapi juga alam, lingkungan, agama dan spiritualitas. Ia bisa menghasilkan karya ‘jenius’ dari kebiasaannya mengamati kehidupan pribadi, orang lain dan lingkungan sekitarnya. Begitu juga mengenai bangsa. Beberapa puisi bernuansa kebangsaan ciptaannya pun pernah dimuat di berbagai media. Salah satunya adalah puisi berjudul “Percakapan di sebuah Jembatan”, yang ia bacakan sendiri pada saat perayaan Hari Pahlawan, 11 November 2006, di Surabaya. Puisi yang mempertanyakan soal kemerdekaan dan kedaulatan.
Namun, cerdas dalam segala hal, concern dengan lingkungan dan bangsa, rupanya tak cukup ‘istimewa’ bagi Dee untuk melangkahkan kakinya di bidang politik. Ia tak mau menyusul teman sesama selebriti yang sudah lebih dulu berkiprah di politik, ataupun bergabung pada partai politik dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif seperti yang ramai dilakukan selebritis kita beberapa waktu lalu. “Belum tertarik,” katanya.
Tapi beberapa detik kemudian, sebuah kalimat cerdas keluar dari bibirnya yang tipis, menyambung penjelasannya mengenai ketidaktertarikannya itu. “Saya kurang tertarik mempelajari “politik panggung” atau high politics, tapi saya percaya bahwa semua tindakan memiliki implikasi politis.”
Bagi perempuan yang namanya termasuk dalam “Top 99 Most Influential Women 2008” versi Globe Asia Magazine ini, pilihan-pilihan personal seseorang justru memiliki dampak politik yang sangat besar. “Ada satu kutipan menarik dari Simone de Beauvoir, seorang filsuf feminis Perancis, yang mengatakan bahwa: “yang personal adalah politis”. Jadi, pilihan sederhana seperti menentukan belanja di pasar tradisional atau moderen, beli wortel impor atau lokal, sebetulnya adalah keputusan politis. Namun hal-hal kecil ini seringkali dilewatkan,” ujar mojang Bandung yang juga pernah menjadi Ikon Tokoh Pariwisata Jawa Barat 2007.
Karena itulah penyuka warna hitam ini lebih tertarik untuk mendalami self-awareness, yang pada akhirnya menurut Dee akan membentuk pilihan dan gaya hidup tertentu, yang pada skala makro akan membentuk politik sebuah bangsa.
Lalu, seperti apa Dee melihat ‘dunia politik’ lainnya? Berikut wawancara kecilku dengan Dewi Lestari, dan pemikirannya mengenai beberapa hal politis.
Lagi sibuk apa nih mbak sekarang?
Saya mau mulai menulis lagi, yakni kelanjutan Supernova (episode Partikel), jadi mulai lebih banyak meluangkan waktu untuk riset dan baca buku. Di luar daripada itu sih masih promosi Rectoverso, kebanyakan di teve.
Masih adakah obsesi lain yang belum terpenuhi?
Ingin agar karya-karya saya bisa dinikmati secara internasional.
Ngomong-ngomong, pemilu kan sudah mau dekat nih, menjelang pemilu ini, adakah hal-hal tertentu -berhubungan dengan politik- yang menarik perhatian Mbak Dee?
Hehe, sebetulnya saya bukan peminat ataupun pengamat politik yang baik. Jujur saya tidak mengikuti lika-liku kampanye sekarang ini, begitu juga sebelum-sebelumnya.
Padahal mbak Dee kan sarjana Hubungan Internasional ya...
Ya, saya lulusan Hubungan Internasional FISIP, jadi pernah belajar ilmu politik secara formal. Tapi sejauh ini belum tertarik untuk terjun ke dunia politik...
Bagaimana pendapat mbak mengenai golput?
Golput sesungguhnya adalah pilihan. Karena jika tidak ada yang nyangkut di hati, kenapa juga harus dipaksakan? Ada yang bilang, dengan kita golput, hak pilih kita malah disalahgunakan oleh pihak lain. Tapi menurut saya, itu adalah urusan si pihak lain, bukan yang memilih golput. Saya sendiri sih menggunakan hak pilih di Pemilu kemarin, tapi sebelum-sebelumnya memang enggak pernah karena benar-benar tidak merasa ada yang pas.
Jadi belum ada partai tertentu yang menyangkut di hati?
Sejauh ini tidak ada.
Apakah ada ajaran-ajaran tertentu di keluarga mbak Dee mengenai sikap politik?
Tidak ada secara khusus. Yang saya rasakan sih, orang tua kami mendidik kami dengan cukup demokratis. Kami dibiarkan untuk punya pilihan sendiri, walaupun sesekali orang tua masih memberikan pengarahan. Namun jika saya bandingkan dengan keluarga lain, boleh dibilang keluarga saya memberikan ruang yang cukup sehat bagi anggotanya untuk berkembang.
Bicara demokratis, kriteria presiden ideal menurut mbak Dee yang seperti apa sih?
Yang berani tidak ber-“politik panggung” dan lebih banyak menggunakan nurani. Karena sepertinya semua permasalahan bangsa ini, jika dirunut ke akarnya, akan kembali ke masalah nurani. Semua orang tahu korupsi itu merugikan, tapi tetap saja terjadi. Semua orang tahu pembalakan hutan itu merugikan alam, tapi tetap saja terjadi. Jadi sistem politik kita cuma mekanistis saja, tidak bernurani. Dan tidak memberikan ruang bagi nurani menjadi basisnya. Nurani itu bukan soal agama (karena menurut saya agama pun termasuk high politics), melainkan me-manusia-kan diri kita, menyeimbangkan kebutuhan kita, yang bukan cuma melulu materi atau emosi.
Apakah sudah melihat kandidiat capres yang memenuhi persyaratan tersebut?
Saya baru bisa menilai jika berkenalan langsung. Berhubung tidak ada yang kenal langsung, jadi saya tidak bisa menilai siapa-siapa.
Sebagai musisi dan penulis, adakah ketertarikan mbak Dee untuk membuat cerita atau lirik bertemakan dunia politik yang penuh intrik ini?
Beberapa kali saya pernah juga membuat puisi bernuansa kebangsaan, yang pernah dibacakan di teve, dan juga dimuat di media, tapi untuk sampai membuat lirik lagu sih belum pernah.
Ngomong-ngomong, ada pertanyaan-pertanyaan menarik kah yang keluar dari mulut si kecil tentang spanduk-spanduk atau baliho kampanye yang sekarang ini beredar dimana-mana? Apakah itu menarik perhatian Keenan? Keenan masih 4 tahun, jadi pemahamannya tentang makna masih belum mendalam. Kalau cuma sekadar baca spanduk aja sih bisa. Hehe. (TM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar