Rabu, 03 Juni 2009

Climber, si Penakluk Tebing


Panjat tebing adalah salah satu olah raga yang cukup menantang namun digemari pria-pria karena bisa memacu adrenalin mereka. Rasa bangga juga kerap muncul jika mereka berhasil menaklukkan tebing curam, plus kebanggaan akan image yang melekat pada climbers yang katanya gagah, macho dan jantan yang bisa membuat cewek-cewek ‘klepek-klepek’. Bener nggak-nya, terserah kamu deh... Yang jelas, nggak semua orang berani nyobain olah raga yang satu ini. Dibutuhkan syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang climber sejati. Kamu harus punya niat, tekad dan semangat yang kuat untuk climbing dan yang pasti harus punya nyali dan tidak acrophobia (penyakit takut ketinggian).

Tapi meski kamu udah punya ketiga syarat utama itu, bukan berarti kamu bisa langsung bebas melenggang pergi memanjat, karena masih banyak hal-hal lain yang perlu kamu pelajari sebelum climbing. Apalagi kalo kamu masih tergolong amatir. Lupain sok-sok-an deh, karena ini menyangkut nyawa kamu lho! Jadi lebih baik kita persiapkan segala sesuatunya dengan baik, bukan? Di dunia climbing itu sendiri sebenarnya juga terdapat level-level yang sebaiknya dilakukan secara bertahap. Pemula nggak boleh langsung nyobain climbing yang tahapannya paling susah. 

Tahapan-tahapan itu adalah: bouldering, buildering, toproping, kemudian lead climbing. 

Bouldering. Tipe panjat tebing ini dianggap sebagai bentuk murni dari olah raga panjat tebing yaitu memanjat problem/rute pendek yang biasanya nggak terlalu tinggi (sekitar 3 meter). Aksi ini dilakukan tanpa tali pengaman. Wall climbing termasuk dalam kategori ini. 

Buildering. Hampir sama dengan bouldering tapi obyeknya bukan tebing alam melainkan bangunan konstruksi manusia seperti gedung perkantoran, mal, tiang, jembatan tinggi. 

Toproping. Tipe panjat tebing yang menggunakan tali pengaman. Untuk ilustrasinya, bayangin aja tali timba sumur. Cara mainnya persis kayak cara kerja timbaan sumur itu. 

Lead climbing. Jenis panjatan ini dilakukan dengan cara yang berbeda dengan toproping. Jika di toproping tali pengaman diikatkan langsung pada pemanjat, pada lead climbing tali pengaman dipegang oleh belayer (dari bawah) yang bertugas mengulurkan tali pada si pemanjat. Level ini terbagi 2, yaitu sport climbing dan traditional climbing (trad climbing). Pada sport climbing rute yang dipanjat dipasang hanger/bolts tiap jarak tertentu, sedangkan trad climbing bersih dari bolts. (Sumber: www.tebingcadas.com)

Wall climbing juga memiliki jenis-jenis climbing yang dibagi berdasarkan speed, difficulties, dan border. Speed berdasarkan kecepatan, dengan menggunakan papan/wall yang lurus dan tinggi. Difficult berdasarkan tingkat kesulitan pada papan/wall; biasa menggunakan papan yang ber-trek. Sedangkan Border merupakan tingkatan yang paling sulit dengan menggunakan papan/wall setinggi 2-3 meter yang banyak trek-nya.  

Untuk mendukung suksesnya climbing kamu, kamu juga harus melengkapi diri dengan peralatan-peralatan climbing yang sangat berguna untuk menunjang keselamatan kamu. Memang untuk belanja keperluan climbing ini ‘kantong’ kamu akan terkuras habis, tapi semua itu sebanding dengan manfaat yang akan kamu peroleh. Remember, safety first! Peralatan yang dibutuhkan antara lain: harness yang dipakai seperti celana (Rp. 250ribu); webbing: sama seperti harness tapi bentuknya tali, harganya nggak jauh beda dengan harness. Carabiner (cincin berbentuk oval atau huruf D, mempunyai gate yang berfungsi sebagai peniti) dan Figure of Eight (chest harness) juga kudu dibeli (Rp.110-120ribu); carmentel: tali yang panjangnya 100m (Rp. 1,2juta); dan matras (Rp. 25ribu). Harga-harga ini jangan dijadiin sebagai patokan utama ya, karena harga sangat tergantung dengan bahan dan merk yang dipilih.  

Bagi climber yang profesional, kerjaan mereka udah nggak cuma manjat papan/wall aja, tapi udah ekpedisi merambah tebing-tebing curam yang ada di Indonesia, mulai dari Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sebut saja tebing-tebing di daerah Sukolilo-Pati atau Lahat di Sumatera. Arealnya yang terjal benar-benar menantang maut. Tapi herannya nggak ada kegentaran sedikit pun di hati climbers. Bahkan ketika jiwa mereka dan orang-orang terdekat pernah terancam pun, mereka masih tetap setia dengan hobi climbing itu. Seperti halnya yang dialami Hendrik, mahasiswa UNJ yang pernah menjadi juara I Panjat Tebing pada lomba Porseni Politeknik se-Indonesia di Samarinda. Nyawanya hampir melayang ketika tali pengamannya terlepas saat lagi memanjat tebing di Lahat. Beruntung tali yang terlepas tersebut tersangkut di batu sehingga nyawanya masih bisa diselamatkan. Menurut Dafi, atlet climb DKI Jakarta yang pernah merebut peringkat lima South East Asean Campionship 2006, taruhan nyawa dalam hobi climbing memang sudah menjadi bagian dari ‘paket’ climbing itu sendiri, terlepas dari semua profesi pasti punya resiko. Tapi hal itu hanya akan membuat para climbers untuk lebih profesional dan berhati-hati, bukannya trauma atau mundur. 

Sampai saat ini, climbing masih berada pada taraf hobi, bukan karir. Meski banyak dari climbers yang sangat total dalam climbing hingga meraih juara, namun mereka sendiri pun mengaku kalo hobi climbing bukanlah kegiatan yang bisa dijadikan sebagai pegangan hidup alias profesi. Maklumlah, masa depan atlet di negeri kita kan nggak secerah masa depan atlet di luar negeri. Tapi mudah-mudah seiring berjalannya waktu, atlet bisa menjadi alternatif profesi yang bisa menjanjikan ya, sehingga climbers seperti Hendrik dan Dafi bisa terus eksis menaklukkan tebing sekaligus meniti karir dengan hobinya itu. (TM)

1 komentar: