“Pertanian itu adalah ujung tombak produksi, maka akan sangat disayangkan sekali bila nggak ada lagi orang yang mau mempelajari pertanian. Bisa-bisa besok-besok kita hanya makan nasi sesuap-dua suap saja."
“Sekilas Info”
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2007 mencapai 6,5 persen dibanding kuartal yang sama tahun lalu. Sumbangan tertinggi pertumbuhan ekonomi yang di luar perkiraan banyak pihak ini berasal dari sektor pertanian sebesar 1,3 persen, melebihi kontribusi sektor industri dan perdagangan yang kali ini menyumbang masing-masing 1,2%. Dari data tersebut, tingkat pertumbuhan pertanian berarti naik menjadi 4,3%. Ini mengulangi sejarah bahwa pertumbuhan pertanian mampu di atas 3%. ‘’Dalam sejarah republik, hanya empat kali pertumbuhan pertanian di atas 3%. Biasanya relatif rendah,’’ kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Penghargaan Ketahanan Pangan 2007 di Istana Negara Jakarta, Kamis 15/11.
Ironis
Pertumbuhan tersebut dilihat sebagai suatu yang mengagumkan. Padahal sebenernya hal tersebut bukanlah sesuatu yang ‘aneh’, melainkan memang udah seharusnya begitu. Karna, di setiap negara maju, sektor pertanian pasti diutamakan terlebih dahulu sampai bener-bener maju, baru akhirnya memajukan sektor lainnya. Makanya nggak heran kalo Amerika dan Eropa pun ngotot nggak mau menyepakati WTO untuk perdagangan bebas di sektor pertanian karna mau melindungi pertanian dalam negerinya. Mereka yakin, tidak akan pernah ada negara yang makmur dan mandiri secara politik ekonomi tanpa disertai kemandirian pertanian. So, agak ironis kalo negeri kita ini udah 'sumringah' dengan pertumbuhan yang cuma beda tipis dengan industri lainnya.
Penyebab Keironisan
Di lain pihak, bisa jadi perasaan senang bangsa kita melihat pertumbuhan sektor pertanian tersebut karena merasa cukup 'surprised' pertanian bisa 'survived' padahal ia sudah cukup lama di-'anak tiri'-kan. Dulu, di jaman pemerintahan Soeharto, sektor pertanian pernah menyumbangkan devisa tertinggi bagi negeri ini, sehingga pertanian dianggap bisa menjadi suatu pilihan pekerjaan yang menjanjikan. Nggak cuma bagi petani yang terlibat dalam proses produksi, tapi juga bagi para generasi muda yang berkecimpung dalam pendidikan ilmu pertanian. Mereka benar-benar terjun ke lapangan dan berusaha menjadikan Indonesia "benar-benar" sebagai negara agraris. Dan bagusnya, tujuan mulia tersebut juga didukung pemerintah dengan perlindungannya terhadap 'serangan' impor. Sehingga, harga jual padi saat panen bisa dibeli pemerintah dengan harga yang tinggi, dan dijual lagi dengan harga murah.
Namun, sejak mantan Presiden yang pernah memimpin Indonesia selama 30 tahun tersebut 'tergoda' oleh aturan main lain yang dianggap bisa lebih meningkatkan devisa negara (pencanangan swa sembada beras di tahun 1984, red), pertanian perlahan mulai ditinggalkan dan di-anaktiri-kan. Sampai sekarang pun, pintu beras impor masih terbuka lebar, dan terus menindas para petani kita, bahkan sektor pertanian kita secara keseluruhan. Padahal, dengan mengimpor beras, beban utang luar negeri kita menjadi makin bertambah. Selain itu, harga jual panen yang sangat rendah, hadirnya tengkulak, ketiadaan jaminan pemerintah terhadap hasil panen, dll menjadi permasalahan sektor pertanian kita yang sudah menahun yang entah kapan bisa 'serius' diperbaiki pemerintah.
Efeknya...
Dengan keadaan yang seperti itu, kita seakan jadi bisa 'maklum' dengan efek yang timbul dari kondisi tersebut dalam bidang SDM, yaitu menurunnya minat generasi muda terhadap pertanian, bahkan bagi orang-orang yang selama ini telah menuntut ilmu bertahun-tahun di disiplin ilmu tersebut pula!
“Sekilas Info”
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2007 mencapai 6,5 persen dibanding kuartal yang sama tahun lalu. Sumbangan tertinggi pertumbuhan ekonomi yang di luar perkiraan banyak pihak ini berasal dari sektor pertanian sebesar 1,3 persen, melebihi kontribusi sektor industri dan perdagangan yang kali ini menyumbang masing-masing 1,2%. Dari data tersebut, tingkat pertumbuhan pertanian berarti naik menjadi 4,3%. Ini mengulangi sejarah bahwa pertumbuhan pertanian mampu di atas 3%. ‘’Dalam sejarah republik, hanya empat kali pertumbuhan pertanian di atas 3%. Biasanya relatif rendah,’’ kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Penghargaan Ketahanan Pangan 2007 di Istana Negara Jakarta, Kamis 15/11.
Ironis
Pertumbuhan tersebut dilihat sebagai suatu yang mengagumkan. Padahal sebenernya hal tersebut bukanlah sesuatu yang ‘aneh’, melainkan memang udah seharusnya begitu. Karna, di setiap negara maju, sektor pertanian pasti diutamakan terlebih dahulu sampai bener-bener maju, baru akhirnya memajukan sektor lainnya. Makanya nggak heran kalo Amerika dan Eropa pun ngotot nggak mau menyepakati WTO untuk perdagangan bebas di sektor pertanian karna mau melindungi pertanian dalam negerinya. Mereka yakin, tidak akan pernah ada negara yang makmur dan mandiri secara politik ekonomi tanpa disertai kemandirian pertanian. So, agak ironis kalo negeri kita ini udah 'sumringah' dengan pertumbuhan yang cuma beda tipis dengan industri lainnya.
Penyebab Keironisan
Di lain pihak, bisa jadi perasaan senang bangsa kita melihat pertumbuhan sektor pertanian tersebut karena merasa cukup 'surprised' pertanian bisa 'survived' padahal ia sudah cukup lama di-'anak tiri'-kan. Dulu, di jaman pemerintahan Soeharto, sektor pertanian pernah menyumbangkan devisa tertinggi bagi negeri ini, sehingga pertanian dianggap bisa menjadi suatu pilihan pekerjaan yang menjanjikan. Nggak cuma bagi petani yang terlibat dalam proses produksi, tapi juga bagi para generasi muda yang berkecimpung dalam pendidikan ilmu pertanian. Mereka benar-benar terjun ke lapangan dan berusaha menjadikan Indonesia "benar-benar" sebagai negara agraris. Dan bagusnya, tujuan mulia tersebut juga didukung pemerintah dengan perlindungannya terhadap 'serangan' impor. Sehingga, harga jual padi saat panen bisa dibeli pemerintah dengan harga yang tinggi, dan dijual lagi dengan harga murah.
Namun, sejak mantan Presiden yang pernah memimpin Indonesia selama 30 tahun tersebut 'tergoda' oleh aturan main lain yang dianggap bisa lebih meningkatkan devisa negara (pencanangan swa sembada beras di tahun 1984, red), pertanian perlahan mulai ditinggalkan dan di-anaktiri-kan. Sampai sekarang pun, pintu beras impor masih terbuka lebar, dan terus menindas para petani kita, bahkan sektor pertanian kita secara keseluruhan. Padahal, dengan mengimpor beras, beban utang luar negeri kita menjadi makin bertambah. Selain itu, harga jual panen yang sangat rendah, hadirnya tengkulak, ketiadaan jaminan pemerintah terhadap hasil panen, dll menjadi permasalahan sektor pertanian kita yang sudah menahun yang entah kapan bisa 'serius' diperbaiki pemerintah.
Efeknya...
Dengan keadaan yang seperti itu, kita seakan jadi bisa 'maklum' dengan efek yang timbul dari kondisi tersebut dalam bidang SDM, yaitu menurunnya minat generasi muda terhadap pertanian, bahkan bagi orang-orang yang selama ini telah menuntut ilmu bertahun-tahun di disiplin ilmu tersebut pula!
Sebagai contoh di Institut Pertanian Bogor (IPB), yang kita kenal sebagai universitas negeri "spesialis" pertanian. Ternyata, meski udah bertahan selama kurang lebih 4 tahun belajar pertanian, nggak serta-merta membuat sarjana-sarjana pertanian tersebut menerapkan ilmu pertaniannya ke sektor pertanian. Pekerjaan yang memberikan penghasilan tetap, berikut fasilitas-fasilitas dan jaminannya terbukti lebih menggoda para ahli pertanian tersebut untuk bekerja di kota, di dalam sejuknya ruangan ber-AC gedung perkantoran daripada di pelosok desa di bawah teriknya matahari.
Aniswatul, misalnya. Lulus dari Arsitetur Lanskap IPB, kini ia bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Ada juga Zaimul, Sarjana Pertanian dari IPB yang kemudian justru berkarir sebagai Broker. Sama halnya dengan Johanes, alumnus IPB yang lebih memilih untuk berjuang mengikuti serangkaian ujian masuk MDP (Management Development Program) sebuah bank swasta. Lebih 'aneh' lagi, Dewi Sri yang kini bekerja sebagai PNS di Departemen Hukum dan HAM.
Mereka adalah contoh nyata menurunnya peminat pertanian. Alasannya? Macem-macem. Memang sih, nggak semua alumni sarjana pertanian 'nyebrang' ke industri lain, tapi nggak bisa dipungkiri juga kalo jumlah dari mereka yang ‘nyebrang’ ini lumayan besar, malah bisa jadi lebih besar dibanding yang tetep setia dengan konsentrasi ilmu yang telah dipelajarinya dahulu. Secara statistik memang agak susah dibuktikan, karena Kantor Jasa Ketenagakerjaan (KJK) IPB pun merasa kesusahan mendapatkan data-data valid “dimana para alumni bekerja”, -- suatu permasalahan yang pada umumnya terjadi di ‘pusat pengembangan karir’ di kampus-kampus lainnya.
Tapi, kamu pasti tau kemana temen-temen kamu pada bekerja kan? Kayak Gian, misalnya. Alumnus Arsitektur Lanskap IPB ini memperkirakan hanya sekitar 25% dari temen-temen seangkatannya yang bener-bener bekerja sesuai dengan bidangnya. “Dan biasanya, itu karena mereka-mereka memang senang atau hobi dengan bidang tersebut. Tapi buat yang hanya 'sekedar ngejalanin/ngerjain tugas-tugas kuliah', banyak yang lebih milih bekerja di industri lain, yang lebih menjanjikan."
Salah Mindset
Selain kondisi terpuruknya nasib pertanian negeri, kesalahan persepsi mengenai "pertanian" dipandang turut menyebabkan menurunnya peminat pertanian. Ir. Purwanto, SK, M.Si, selaku alumnus IPB yang udah 14 tahun ini berprofesi sebagai Dosen Pertanian di Universitas Mercu Buana (UMB), sekaligus sebagai Dirut SDM UMB dan Wakil Dekan Fakultas Psikologi UMB, mengaku turut prihatin dengan kondisi ini. "Generasi sekarang ini kurang minat pada bidang pertanian, mungkin karena mereka merasa bahwa lulusan pertanian itu identik dengan bercocok tanam dan berkebun. Memang pada dasarnya dulu seperti itu tapi sekarang perkembangannya sudah beda.
Nah, biasanya image yang muncul tentang pertanian saat ini bahwa nantinya lulusan pertanian akan sulit mencari lapangan pekerjaan, kalaupun ada itu akan jauh dikirim ke Medan atau Sulawesi misalnya, dimana dia nantinya akan mengurus sebuah lahan atau perkebunan di pelosok desa. Karena siapa sih anak muda sekarang yang ingin hidup terpencil jauh dari kota dan kerja mengurusi sebuah lahan perkebunan yang berhektar-hektar?! Mungkin itu juga lah yang membuat generasi saat ini kurang meminati Fak. Pertanian. Padahal pertanian itu adalah ujung tombak produksi, maka sangat disayangkan sekali bila nggak ada lagi orang yang mau mempelajari pertanian. Bisa-bisa besok-besok kita hanya makan nasi sesuap-dua suap saja," ujar beliau panjang lebar.
Mindset yang salah akan makna "pertanian" ini juga menjadi concern Prof. Dr. Ir. Kusuma Diwyanto, MS, seperti yang diungkapkannya berikut ini, "Seringkali di Indonesia jika berbicara 'pertanian', yang terpikir adalah budi daya atau produksi. Padahal selayaknya sebuah industri, sektor pertanian mencakup perencanaan dan persiapan menyeluruh dengan analisa yang kuat agar budi daya bisa dilakukan optimal, kemudian hasil produksi bisa lebih diberdayakan agar bernilai tambah. Jangan hanya berhenti di bahan mentah, melainkan diolah lagi supaya bernilai jual dan menarik bagi industri-industri yang membutuhkannya..”
Dan 'sayang'nya, analisa beliau-beliau ini nggak meleset. Buktinya, dari beberapa narasumber yang diwawancarai Flash (pelajar, mahasiswa dan pegawai kantoran yang awam tentang "pertanian"), nggak ada satu pun yang "melihat" pertanian sebagai suatu industri yang bergerak dari hulu ke hilir. Di benak mereka, konsep "petani" hanyalah "buruh" yang kerjaannya cuma bercocok tanam. Karena itu menjadi petani dianggap bukanlah pekerjaan yang menjanjikan.
Benahi Mindset, dan Bangun Pertanian dengan Menjadi Petani Moderen!
Benahi Mindset, dan Bangun Pertanian dengan Menjadi Petani Moderen!
Lantas, apa benar kondisi pertanian kita segitu buruknya? Apa benar 'Indonesia = Negara Agraris' hanya akan jadi sejarah? Apa benar nggak ada lagi peluang yang terbuka di sektor pertanian?
Ternyata... nggak benar tuh! Kita masih punya banyak lahan potensial untuk digarap, masih punya ahli-ahli pertanian dan kelompok-kelompok tertentu yang masih concern dengan kemajuan dan kemakmuran pertanian negeri ini, juga masih punya 'sejuta' peluang dari pertanian yang bisa dijadikan sebagai pilihan berkarir/berwirausaha.
Ternyata... nggak benar tuh! Kita masih punya banyak lahan potensial untuk digarap, masih punya ahli-ahli pertanian dan kelompok-kelompok tertentu yang masih concern dengan kemajuan dan kemakmuran pertanian negeri ini, juga masih punya 'sejuta' peluang dari pertanian yang bisa dijadikan sebagai pilihan berkarir/berwirausaha.
Nah, untuk membangun kembali pertanian negeri ini, pertama-pertama dibutuhkan kesadaran terlebih dahulu bahwa sektor pertanian memang merupakan faktor terpenting untuk memajukan suatu negara. Dalam hal ini, membenahi mindset yang udah kadung tercipta, menjadi langkah awal yang harus dilakukan. Maka, mulai detik ini, sebagai generasi muda yang berkualitas, Flashers juga harus memahami, bahwa "bertani" itu kegiatannya nggak cuma bercocok tanam (produksi), tapi juga mencakup distribusinya, pengolahan, pengemasan, sampai pemasarannya! Ya, kalo generasi kita mau jadi petani, maka kita harus jadi "Petani Moderen", yang bisa mikir dari "A-Z" mengenai pertanian.
Syukurnya, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga telah hadir untuk mewujudkan terciptanya "Petani Moderen". Kiprah sekelompok anak muda yang tergabung dalam Komunitas Muda Petani Baru Indonesia (KMPBI) misalnya, bisa kita jadikan panutan dalam upayanya mengembangkan sektor pertanian dan menciptakan Petani Moderen. Bekerja sama dengan Yayasan Obor Tani (YABORTAN), KMPBI menyelenggarakan "magang tani" dengan program penggemblengan para pemuda untuk lebih memahami pengetahuan tentang pertanian, pengembangan teknologi, pangsa pasar, dll. Mulai dari bagaimana mencangkul lahan dengan benar, persiapan bibit sampai pengelolaan pasca panen.
"Saat ini banyak anak muda, termasuk anak-anak petani yang malu menekuni profesi sebagai petani. Hal ini sangat mengkhawatirkan, sehingga membuat kami bertekad untuk mengangkat profesi petani agar tidak dianggap profesi rendahan. Justru kalau Indonesia ingin maju, masyarakat dan pemerintah harus bangga dan mau ngopeni sektor pertanian. Di negara maju seperti Jepang dan Amerika, pertanian justru menjadi salah satu andalan," kata Arif Subiyanto SPd, Ketua KMBI yang dulunya pernah menjadi Presiden BEM UNSIQ (Universitas Sains Al-Quran).
Begitu juga dengan Paguyuban Petani Gedongsongo (PPG) di Kabupaten Semarang, yang sengaja didirikan sebagai basis pemberdayaan pertanian bagi kaum muda. Mereka nggak hanya dididik untuk jago ngolah sawah, tapi juga mempelajari manajemen pertanian yang berbasis pertanian organik.
Begitu juga dengan Paguyuban Petani Gedongsongo (PPG) di Kabupaten Semarang, yang sengaja didirikan sebagai basis pemberdayaan pertanian bagi kaum muda. Mereka nggak hanya dididik untuk jago ngolah sawah, tapi juga mempelajari manajemen pertanian yang berbasis pertanian organik.
Nggak hanya LSM, baru-baru ini IPB pun bertekad untuk lebih meningkatkan kualitas belajarnya dengan membuka "University Farm" di Bogor. Pusat Pengembangan Agribisnis yang terlaksana atas kerja sama dengan Misi Teknik Taiwan di Indonesia ini didirikan di Desa Cikarawang, Bogor, juga dengan tujuan yang sama: menciptakan Petani Moderen yang hasil panennya bisa menembus pasar lokal dan internasional. Di atas lahan seluas 10 hektar itu, pusat agribisnis tersebut diharapkan tidak hanya menjadi pusat riset akademis, namun juga pemasaran hingga ke pasar ekspor.
Contoh lain dari semangat kebangkitan pertanian negeri ini adalah lahirnya wacana "MIRE" (Merauke Integrated Rice Estate), sebagai bentuk ambisi dari Kabupaten Merauke yang dikategorikan 'tertinggal', menjadi lumbung beras nasional setelah sebelumnya berhasil menyandang predikat sebagai lumbung beras Papua. Tentunya ambisi itu nggak cuma 'asbun' (asal bunyi, red). Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze, sadar benar akan kondisi penduduknya yang mayoritas masyarakat petani, karna itu ia berupaya meningkatkan produksi beras di wilayahnya. Bahkan Merauke telah berhasil swadembada pangan dengan menjual hasil berasnya ke kabupaten lain. Dan untuk mewujudkan ambisi Merauke yang lebih besar lagi, Bupati yang murah senyum dan dikenal dengan dekat dengan rakyatnya ini juga sangat memandang penting pembenahan SDM pertanian yang mau membangun Merauke (baik melalui pelatihan dan pendidikan). Hmm, lagi-lagi "Petani Moderen" didambakan, ya?!
Pertanian: Masih dan Selalu Berpeluang Besar
Pertanian: Masih dan Selalu Berpeluang Besar
Jika melihat keseriusan yang dilakukan oleh mereka-mereka yang peduli pertanian tersebut, kita seperti diajak untuk tetap meyakini bahwa pertanian tetap menjanjikan, bahwa sebenernya pertanian memiliki peluang besar sebagai sumber pendapatan kita, baik untuk kantong pribadi maupun untuk devisa negara. Yang ternyata memang benar begitu adanya!
Biar lebih ngebuka paradigma kamu akan pertanian, flash akan mengungkapkan beberapa peluang berpotensi dari sektor pertanian, atl:
Tanaman Pangan: Potensi Terbesar
Ada satu hal yang menarik mengenai tanaman pangan ini. Jika bertanya ke ahli pertanian manapun, kamu pasti akan menemukan penjelasan yang sama tentang potensi tanaman pangan di negeri tercinta ini: selama masih ada manusia, tanaman pangan tetap akan slalu dibutuhkan. Manusia butuh makan, toh? Bayangin, berapa banyaknya penduduk Indonesia ini... Poin ini saja udah bisa kita ambil sebagai peluang yang menjanjikan, bukan? Belom lagi kalo kita melihat "pertanian" secara lebih luas lagi (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, perikanan darat dan peternakan). Udah pasti, sejumlah peluang masih terbuka lebar untuk dimanfaatkan.
Buah Impor? Oke Banget!
Menarik berbicara tentang peluang pertanian dengan Pak Hertoto Basuki. Pak Basuki, demikian ia biasa disapa, pasti akan sangat bersemangat. Pengusaha sukses yang juga Ketua Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi (BKSP) Jawa Tengah, Wakil Ketua Umum Kadin bidang SDM & Sistem Sertifikasi Kompetensi serta Pembina Yayasan Obor Tani ini memang punya kepedulian tinggi terhadap nasib pertanian dan petani di Indonesia. “Enam puluh persen rakyat Indonesia adalah petani, sudah sangat jelas mestinya mereka lah yang harus diperhatikan melalui menajemen pemerintahan yang berfokus pada ekonomi rakyat,” ungkapnya.
Tanaman Pangan: Potensi Terbesar
Ada satu hal yang menarik mengenai tanaman pangan ini. Jika bertanya ke ahli pertanian manapun, kamu pasti akan menemukan penjelasan yang sama tentang potensi tanaman pangan di negeri tercinta ini: selama masih ada manusia, tanaman pangan tetap akan slalu dibutuhkan. Manusia butuh makan, toh? Bayangin, berapa banyaknya penduduk Indonesia ini... Poin ini saja udah bisa kita ambil sebagai peluang yang menjanjikan, bukan? Belom lagi kalo kita melihat "pertanian" secara lebih luas lagi (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, perikanan darat dan peternakan). Udah pasti, sejumlah peluang masih terbuka lebar untuk dimanfaatkan.
Buah Impor? Oke Banget!
Menarik berbicara tentang peluang pertanian dengan Pak Hertoto Basuki. Pak Basuki, demikian ia biasa disapa, pasti akan sangat bersemangat. Pengusaha sukses yang juga Ketua Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi (BKSP) Jawa Tengah, Wakil Ketua Umum Kadin bidang SDM & Sistem Sertifikasi Kompetensi serta Pembina Yayasan Obor Tani ini memang punya kepedulian tinggi terhadap nasib pertanian dan petani di Indonesia. “Enam puluh persen rakyat Indonesia adalah petani, sudah sangat jelas mestinya mereka lah yang harus diperhatikan melalui menajemen pemerintahan yang berfokus pada ekonomi rakyat,” ungkapnya.
Nggak heran bila BKSP Jawa Tengah kemudian turut berpikir bagaimana berkontribusi di sektor pertanian. Dan dari hasil analisa menunjukkan buah impor memiliki peluang usaha yang besar di Indonesia. “Buah impor itu masuk ke Indonesia dengan nilai lebih kurang hampir 10 trilyun rupiah per tahun. Ini mendorong kami untuk berperan-serta membantu petani meraih peluang ini. Melalui Training Center dalam naungan Yayasan Obor Tani kami melatih petani-petani unggul untuk segmen buah impor. Dengan dukungan para ekspertis, para pelaku industri agro dan kemudian Pemerintah Daerah, kami yakin bisa menghasilkan buah-buah dalam kategori buah impor yang tidak kalah bersaing.”
Pak Basuki yang juga terlibat membina sekolah Menengah Kejuruan Pertanian di Jawa Tengah ini tak asal bicara. Terbukti sekelompok pemuda binaan Yayasan Obor Tani dalam praktek lapangan di Desa Wonokerto Kecamatan Bancak Kabupaten Semarang telah menghasilkan buah melon (jenis Honey Globe dari Taiwan) terberat di dunia (4,2 kg) dan tercatat dalam buku rekor MURI.
Mengapa buah impor Pak? “Kalau para calon petani ini diarahkan ke 9 bahan pokok, sama saja dengan mereka dikorbankan lagi. Industri pertanian di area 9 bahan pokok di Indonesia sudah terlalu pelik. Petani sering dihadapkan pada masalah tengkulak dan impor yang dilakukan pemerintah. Sedangkan di segmen buah impor kami berani bersaing. Secara kualitas kami tak kalah, lebih fresh dan bisa diterima outlet dalam keadaan masak. Marketnya pun terbuka, lihat saja buah-buahan ini laku di outlet-outlet dengan harga yang tidak murah.”
Jadi apakah buah impor boleh disarankan sebagai pilihan bagi anak muda yang ingin meraih peluang di sektor pertanian? Pak Basuki mengangguk, “Bercocok tanamlah buah impor, peluangnya masih besar,” ujarnya mantap.
Jadi apakah buah impor boleh disarankan sebagai pilihan bagi anak muda yang ingin meraih peluang di sektor pertanian? Pak Basuki mengangguk, “Bercocok tanamlah buah impor, peluangnya masih besar,” ujarnya mantap.
Wonder Melon Lahir di Jawa Tengah
Melon seberat 4,266 kg? Yang bener? Ini bukan sulap, bukan sihir, tapi asli melon jenis Honey Globe yang benihnya berasal dari Taiwan ini tumbuh di lahan buah di Desa Wonokerto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Padahal melon yang biasa di pasaran, beratnya nggak lebih dari 3 kg! Di negeri asalnya malah si manis, seger dan berdaging tebal ini hanya sampai 2,5 kg!!
Melon seberat 4,266 kg? Yang bener? Ini bukan sulap, bukan sihir, tapi asli melon jenis Honey Globe yang benihnya berasal dari Taiwan ini tumbuh di lahan buah di Desa Wonokerto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Padahal melon yang biasa di pasaran, beratnya nggak lebih dari 3 kg! Di negeri asalnya malah si manis, seger dan berdaging tebal ini hanya sampai 2,5 kg!!
Ternyata anak-anak muda yang dari Kaum Muda “Baru” Petani Indonesia yang berhasil membudidaya melon ini. Gimana sih caranya bisa menghasilkan melon segede itu? Katanya budidaya wonder melon itu nggak pakai rekayasa genetika, melainkan teknik pertanian konvensional dengan modernisasi ala negara maju.
Dalam wawancara Flash dengan M. Mas Arif Ruba’i, Ketua Koordinator Kaum Muda Nadhatul Ulama yang turut terlibat dalam produksi melon jawara, pemuda ramah ini menjelaskan bahwa untuk mendapatkan melon ‘segede gaban’ itu, diperlukan niat dan semangat yang gigih dari para petaninya, karna nggak bisa langsung berhasil memuaskan. “Caranya juga biasa, seperti yang diajarkan di Yayasan Obor Tani (Yayasan yang khusus untuk melatih kader-kader ‘Petani Moderen’ dari anak muda di usia 18-35 tahun, red),“ kata Mas Arif. Namun, kegigihan, ketekunan dan pengalaman mereka akhirnya membuahkan hasil produksi melon yang rata-rata beratnya di atas 3 kg, yang kemudian dicatat MURI sebagai buah melon terbesar. Dan tau nggak sih, panennya itu cuma dilakukan dalam 3 bulan lho!!
Perasaan seneng udah pasti dirasakan mereka, tapi mereka akan lebih senang dan bangga lagi kalo bisa memproduksi hasil pertanian yang benihnya dari negeri sendiri. Iya dong, nasionalisme gitu looh... Harapan Mas Arif, “Inginnya hasil ini diteliti oleh institusi pemerintah agar bisa membantu Indonesia menghasilkan benih yang lebih baik. Harapan lainnya adalah agar teman-teman muda di Indonesia punya cara pikir lain tentang pertanian. Sektor ini bisa jadi harapan. Jadi supaya nggak hanya berpikir ingin bekerja di kota.”
Meraup Untung dari Tanaman Hias
Buat yang nggak hobi nyawah, bisnis tanaman hias atau bikin rumah bunga kayaknya asik juga tuh! Coba deh perhatiin, di tiap rumah tetangga kamu, selalu ada bunga kan?? Karna bunga bisa membawa keindahan ke rumah kita, makanya masih selalu dicari orang. Atau... inget kan, bagaimana anthurium dan adenium pernah menjadi aset bagi mereka yang mau berinvestasi di tanaman hias? Padahal awalnya tanaman itu sekedar tanaman liar yang tumbuh di dalam hutan lho, namun kemudian dibudidayakan dan menjadi tanaman yang unik dan menarik, bahkan harga jual tanaman tersebut bisa mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta. Ckckck...
Tapi jangan lupa, banyak-banyak cari referensi bacaan biar tau arah tren tanaman berikutnya. Bisnis tanaman ini memang musiman.. jadi harus pinter-pinter ngebaca tren.
Agro Wisata
"Back to nature" adalah konsep yang mau ditonjolkan oleh wisata tani ini. Baik itu bertani, berkebun, atau beternak. Objek wisata ini menawarkan pengalaman bagi "orang kota" yang mau mengenal lebih jauh dengan dunia pertanian, perkebunan atau peternakan. Animonya sangat bagus lho! Memang sih, untuk membuka tempat wisata seperti ini membutuhkan lahan yang sangat luas dan tentunya modal yang nggak sedikit. Tapi, sungguh indah sekali bukan, kalo kita bisa sharing pengetahuan dengan orang lain, dan dibayar pula? Hehehe...
Beberapa contoh agro wisata yang bisa dijadikan referensi adalah Strawberry Sweethearts di Lembang, Little Farmers di Cisarua, Taman Buah Mekarsari di Cibubur, Kota Bunga di Puncak, dll.
Dari Singkong jadi Bensin Hijau Ramah Lingkungan
Ini adalah salah satu contoh nyata dari apa yang dimaksud para ahli pertanian kita mengenai "pertanian hendaknya dilihat sebagai industri yang bergerak dari hulu ke hilir". Semua orang Indonesia tau kalo singkong bisa dikategorikan sebagai makanan pokok orang Indonesia, selain nasi atau jagung. Tapi, nggak semua orang tau kalo singkong kini bisa diolah sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Tepatnya, sebagai bahan baku alternatif pembuatan bioetanol. Ya! Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) Lampung lah yang mengembangkan riset ini.
Proses pembuatan bioetanol, dimulai dengan memarut singkong menjadi bubur singkong seperti proses pembuatan tepung tapioka. Bedanya, jika pada proses pembuatan tepung tapioka dilakukan ekstraksi, maka pada pembuatan tepung tapioka dilakukan proses hidrolosis. Hidrolosis adalah proses yang mengubah kandungan pati menjadi glukosa. Cairan gula selanjutnya dimasukkan ke dalam tangki fermentasi yang telah dilengkapi dengan pendingin dan dicampur dengan biakan mikroba. Hasil fermentasi ini akan menghasilkan etanol berkadar 8-11%.
Proses selanjutnya adalah distilasi untuk mendapatkan etanol dengan kadar alkohol 95-96%. Untuk mengurangi kadar airnya, etanol harus melalui proses dehidrasi guna mengurangi kadar air yang masih mencapai 4-5% hingga menghasilkan bioetanol berkadar alkohol 99%. Kabarnya, mobil yang memakai bahan bakar gasohol (gasoline alcohol), lebih sedikit menghasilkan emisi karbon monoksida dibandingkan dengan mobil yang menggunakan bahan bakar premium.
Jika program Gasohol berjalan dengan dukungan pemerintah dan rakyat, petani singkong mungkin akan dapat meningkatkan produksinya dengan menjual seluruh singkong produksi mereka ke pabrik-pabrik bioetanol. Peluang bagus, kan?
Kumpulin Ternaknya, Jualin Susunya
Jadi peternak juga seru lho! Mau sapi perah, kambing, atau kuda, terserah aja! Dari situ, kamu bisa bisnis susu murni deh! Apalagi, harga susu di supermarket sekarang ini kan mahalnya selangit, jadi susu murni yang langsung dari peternakan bisa menjadi alternatif.
Selain memanfaatkan susu murni dari hewan ternak, daging dan telur dari hewan ternak lainnya (misal ayam, bebek) juga masih menjanjikan. Secara, banyak bener bukan orang kita yang demen daging dan telur ayam?? Tapi, hati-hati flu burung dan penyakit hewan ternak lainnya ya!
Budidaya Tanaman Obat: Cara Lain jadi Dokter
Sekarang ini banyak orang yang ketika sakit lebih memilih untuk minum obat tradisional daripada pergi ke dokter. Bisa jadi karna lebih murah, atau karna ingin hidup lebih sehat tanpa takut dengan efek kimiawi yang kerap terdapat dalam obat-obatan. Ini juga peluang lho. Lagian, jenis tanaman obat itu pun banyak banget dan gampang dicari. Bayangin, dari 30-an ribu spesies tanaman berbunga yang ada di negara kita, sekitar 7 ribu diantaranya adalah tanaman berkhasiat obat! Dan dari jumlah itu, yang yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan alami dalam perawatan kesehatan baru 1000-2000 spesies! Mmmh, siapa tau kamu bisa jadi penemu khasiat tanaman obat lainnya yang belum tersentuh masyarakat...
Meraup Untung dari Tanaman Hias
Buat yang nggak hobi nyawah, bisnis tanaman hias atau bikin rumah bunga kayaknya asik juga tuh! Coba deh perhatiin, di tiap rumah tetangga kamu, selalu ada bunga kan?? Karna bunga bisa membawa keindahan ke rumah kita, makanya masih selalu dicari orang. Atau... inget kan, bagaimana anthurium dan adenium pernah menjadi aset bagi mereka yang mau berinvestasi di tanaman hias? Padahal awalnya tanaman itu sekedar tanaman liar yang tumbuh di dalam hutan lho, namun kemudian dibudidayakan dan menjadi tanaman yang unik dan menarik, bahkan harga jual tanaman tersebut bisa mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta. Ckckck...
Tapi jangan lupa, banyak-banyak cari referensi bacaan biar tau arah tren tanaman berikutnya. Bisnis tanaman ini memang musiman.. jadi harus pinter-pinter ngebaca tren.
Agro Wisata
"Back to nature" adalah konsep yang mau ditonjolkan oleh wisata tani ini. Baik itu bertani, berkebun, atau beternak. Objek wisata ini menawarkan pengalaman bagi "orang kota" yang mau mengenal lebih jauh dengan dunia pertanian, perkebunan atau peternakan. Animonya sangat bagus lho! Memang sih, untuk membuka tempat wisata seperti ini membutuhkan lahan yang sangat luas dan tentunya modal yang nggak sedikit. Tapi, sungguh indah sekali bukan, kalo kita bisa sharing pengetahuan dengan orang lain, dan dibayar pula? Hehehe...
Beberapa contoh agro wisata yang bisa dijadikan referensi adalah Strawberry Sweethearts di Lembang, Little Farmers di Cisarua, Taman Buah Mekarsari di Cibubur, Kota Bunga di Puncak, dll.
Dari Singkong jadi Bensin Hijau Ramah Lingkungan
Ini adalah salah satu contoh nyata dari apa yang dimaksud para ahli pertanian kita mengenai "pertanian hendaknya dilihat sebagai industri yang bergerak dari hulu ke hilir". Semua orang Indonesia tau kalo singkong bisa dikategorikan sebagai makanan pokok orang Indonesia, selain nasi atau jagung. Tapi, nggak semua orang tau kalo singkong kini bisa diolah sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Tepatnya, sebagai bahan baku alternatif pembuatan bioetanol. Ya! Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) Lampung lah yang mengembangkan riset ini.
Proses pembuatan bioetanol, dimulai dengan memarut singkong menjadi bubur singkong seperti proses pembuatan tepung tapioka. Bedanya, jika pada proses pembuatan tepung tapioka dilakukan ekstraksi, maka pada pembuatan tepung tapioka dilakukan proses hidrolosis. Hidrolosis adalah proses yang mengubah kandungan pati menjadi glukosa. Cairan gula selanjutnya dimasukkan ke dalam tangki fermentasi yang telah dilengkapi dengan pendingin dan dicampur dengan biakan mikroba. Hasil fermentasi ini akan menghasilkan etanol berkadar 8-11%.
Proses selanjutnya adalah distilasi untuk mendapatkan etanol dengan kadar alkohol 95-96%. Untuk mengurangi kadar airnya, etanol harus melalui proses dehidrasi guna mengurangi kadar air yang masih mencapai 4-5% hingga menghasilkan bioetanol berkadar alkohol 99%. Kabarnya, mobil yang memakai bahan bakar gasohol (gasoline alcohol), lebih sedikit menghasilkan emisi karbon monoksida dibandingkan dengan mobil yang menggunakan bahan bakar premium.
Jika program Gasohol berjalan dengan dukungan pemerintah dan rakyat, petani singkong mungkin akan dapat meningkatkan produksinya dengan menjual seluruh singkong produksi mereka ke pabrik-pabrik bioetanol. Peluang bagus, kan?
Kumpulin Ternaknya, Jualin Susunya
Jadi peternak juga seru lho! Mau sapi perah, kambing, atau kuda, terserah aja! Dari situ, kamu bisa bisnis susu murni deh! Apalagi, harga susu di supermarket sekarang ini kan mahalnya selangit, jadi susu murni yang langsung dari peternakan bisa menjadi alternatif.
Selain memanfaatkan susu murni dari hewan ternak, daging dan telur dari hewan ternak lainnya (misal ayam, bebek) juga masih menjanjikan. Secara, banyak bener bukan orang kita yang demen daging dan telur ayam?? Tapi, hati-hati flu burung dan penyakit hewan ternak lainnya ya!
Budidaya Tanaman Obat: Cara Lain jadi Dokter
Sekarang ini banyak orang yang ketika sakit lebih memilih untuk minum obat tradisional daripada pergi ke dokter. Bisa jadi karna lebih murah, atau karna ingin hidup lebih sehat tanpa takut dengan efek kimiawi yang kerap terdapat dalam obat-obatan. Ini juga peluang lho. Lagian, jenis tanaman obat itu pun banyak banget dan gampang dicari. Bayangin, dari 30-an ribu spesies tanaman berbunga yang ada di negara kita, sekitar 7 ribu diantaranya adalah tanaman berkhasiat obat! Dan dari jumlah itu, yang yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan alami dalam perawatan kesehatan baru 1000-2000 spesies! Mmmh, siapa tau kamu bisa jadi penemu khasiat tanaman obat lainnya yang belum tersentuh masyarakat...
Apa aja tanaman yang paling banyak dicari orang? Diantaranya jahe, kencur, kunyit, temulawak, lidah buaya, kumis kucing, jeruk nipis, dll. Ada juga jenis tanaman yang selama ini kurang dikenal orang bahkan nyaris punah tapi mendadak jadi primadona dan dicari-cari karna dipercaya bisa membunuh sel-sel penyakit kanker. Namanya? Mahkota dewa.
Di Papua pun ada tanaman buah merah yang bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Coba deh, mungkin flasher yang berada di Papua bisa lebih membudidayakan dan memasarkan lagi tanaman berkhasiat tersebut ke daerah-daerah lain, malah kalo bisa ke negara lain juga! Belom semua orang tau manfaat buat merah lho... Flash yakin, dengan strategi pemasaran yang baik, peluang ini bisa memberikan manfaat yang baik pula buat kamu!
So, nggak bisa jadi dokter? Jadi petani tanaman obat aja... Sama-sama nyembuhin orang, toh...
Belajar di mana?
Well, itu dia beberapa peluang yang kira-kira bisa kita manfaatkan dari bertani, berkebun atau beternak (tentunya masih banyak peluang lain yang bisa digarap, red). Gimana...? Tertarik jadi Petani Moderen yang turut berkontribusi dalam peningkatan devisa negara melalui sektor pertanian? Belajar dulu doong. Bertani itu kan nggak gampang. Butuh pemahaman dan strategi juga.
So, nggak bisa jadi dokter? Jadi petani tanaman obat aja... Sama-sama nyembuhin orang, toh...
Belajar di mana?
Well, itu dia beberapa peluang yang kira-kira bisa kita manfaatkan dari bertani, berkebun atau beternak (tentunya masih banyak peluang lain yang bisa digarap, red). Gimana...? Tertarik jadi Petani Moderen yang turut berkontribusi dalam peningkatan devisa negara melalui sektor pertanian? Belajar dulu doong. Bertani itu kan nggak gampang. Butuh pemahaman dan strategi juga.
Biar bisa tau triknya, ada beberapa cara yang bisa kamu lakukan. Secara formal, kamu bisa belajar di sekolah kejuruan pertanian, atau universitas spesialis pertanian. Untuk kelas universitas, antara lain UMB (Jakarta), UGM (Yogyakarta), UNBRAW (Malang), UPN Veteran Yogyakarta, Universitas Udayana (Bali), UNSRI (Palembang), UNPAD (Bandung), atau UNIPA (Papua) bisa menjadi alternatif pilihan selain IPB. Sedangkan kalo mau langsung terjun ke lapangan, gabung aja dengan LSM-LSM peduli pertanian di kota kamu, misalnya ya seperti YABORTAN tadi (Semarang).
Selamat Bertani!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar